
veriteblog.com – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selama ini dikenal sebagai partai yang vokal dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Namun, belakangan muncul persepsi bahwa PSI mulai menerapkan strategi politik piggyback dengan Presiden Jokowi. Politik piggyback sendiri berarti sebuah partai atau kelompok politik memanfaatkan popularitas tokoh atau kekuatan lain untuk mendongkrak posisinya.
Jokowi sebagai Presiden RI memiliki elektabilitas yang cukup tinggi dan citra positif di mata masyarakat. Banyak partai politik mencoba mendekatkan diri agar dapat meraih keuntungan dari popularitasnya. Dalam konteks ini, PSI tampaknya mencoba mengadopsi strategi tersebut dengan mendekati figur dan kebijakan Jokowi, meskipun sebelumnya mereka dikenal sebagai oposisi yang keras.
Namun, strategi ini tidak tanpa risiko. Di satu sisi, PSI dapat memperoleh dukungan lebih luas dan peluang masuk ke pemerintahan. Di sisi lain, mereka berpotensi kehilangan identitas dan dukungan dari basis pemilih yang selama ini menghargai sikap kritis partai tersebut. Oleh karena itu, PSI harus bijak menyeimbangkan antara kolaborasi dan menjaga independensi politik.
Transisi dari sikap oposisi menjadi mitra yang mendukung pemerintahan Jokowi juga bisa dipandang sebagai bentuk pragmatisme politik. PSI menyadari bahwa perubahan politik di Indonesia semakin dinamis dan koalisi merupakan bagian penting dalam mencapai tujuan politik. Dengan demikian, piggyback politik bukan semata soal memanfaatkan nama besar, tapi juga upaya memperkuat posisi dan pengaruh di kancah nasional.
Secara keseluruhan, politik piggyback yang dijalankan PSI terhadap Jokowi menandai perubahan strategi yang signifikan. Akan tetapi, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada kemampuan PSI menjaga citra dan kepercayaan publik di tengah dinamika politik yang terus berkembang.